LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI - DIURETIK


Diuretik adalah obat yang bekerja pada ginjal untuk meningkatkan ekskresi air dan natrium klorida. Secara normal, reabsobsi garam dan air dikendalikan masing-masing oleh aldosteron vasopiesin (hormon antidiuretik, ADH). Sebagian basar  diuretik bekarja dengan menurukan reabsorbsi elektrolit oleh tubulus. Ekskresi elektolit yang meningkat diikuti oleh peningkatan ekskresi air, yang penting untuk mempertahankan keseimbangan osmotik. Diuretik digunakan untuk mengurangi udema pada gagal jantung kongesif, beberapa penyakit ginjal, dan sirosis hepatis (Neal,2010). Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi respon diuretik :
1)      Tempat kerja diuretik di ginjal.
Diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium sedikit, akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium banyak.
2)      Status fisiologi dari organ.
Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, gagal ginjal. Dalam keadaan ini akan memberikan respon yang berbeda terhadap diuretik.
3)      Interaksi antara obat dengan reseptor.




BAB III
METODE KERJA
3.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain:
a)      Kandang tikus
b)      Sarung tangan
c)      Masker
d)      Kanulla
e)      Jarum suntik
f)       Timbangan tikus
g)      Kandang metabolit
h)      Koran
i)       Stopwatch
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain:
a)      Furosemid
Hewan yang digunakan:
Hewan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tikus betina dengan berat badan yaitu 50, 59, 70, dan 89.

3.2. Prosedur Kerja
1.      Timbang berat badan tikus terlebih dahulu, lalu beri tanda untuk membedakannya.
2.      Hitung VAO dari dosis hewan dan berat badan tikus yang telah diketahui.
3.      Injeksikan secara oral air hangat sebanyak 5 ml kepada masing-masing tikus.
4.      Injeksikan secara intraperitoneal furosemid sesuai dengan dosis yang telah dihitung kepada masing-masing tikus.
5.      Masukkan tikus ke dalam kandang metabolit.
6.      Pengamatan dilakukan pada menit ke 15, 30, 45, dan 60.
7.      Catat jumlah volume urin yang dihasilkan pada menit di atas.

4.1. Pembahasan
Pada praktikum diuretik ini dilakukan pengujian pada efek obat diuretik kuat yaitu furosemid pada tikus. Pada umumnya untuk pengujian diuretik dilakukan pada hewan percobaan berupa tikus, yaitu tikus betina. Hal ini disebabkan karena tikus merupakan hewan dengan model yang sesuai untuk evaluasi obat-obatan yang memengaruhi ginjal. Tikus yang digunakan sebaiknya tikus jantan, namun pada praktikum digunakan tikus betina. Hal ini dapat menyebabkan kurang akuratnya data karena tikus betina kurang stabil untuk model evaluasi obat-obatan yang memengaruhi ginjal.
Metode untuk menguji aktivitas diuretik pada tikus telah dijelaskan oleh Lipschitz et al. (1943) dalam Vogel (2008). Tes ini didasarkan pada ekskresi air dan natrium pada hewan uji dan dibandingkan dengan tikus yang diberi urea dosis tinggi. Kemudian akan didapatkan "Nilai Lipschitz" yaitu hasil bagi antara ekskresi oleh hewan uji dan ekskresi oleh kontrol urea.
Tes Lipschitz telah terbukti sebagai metode standar dan alat yang sangat berguna untuk skrining diuretik potensial. Pada metode Lipschitz ini tikus wistar jantan dengan berat 100–200 g yang digunakan. Tiga hewan per kelompok ditempatkan di dalam kandang metabolik yang dilengkapi dengan dasar kawat dan corong untuk menampung urin. Saringan stainless-steel ditempatkan dalam corong untuk menahan tinja dan untuk memungkinkan urin lewat. Tikus diberi makan dengan diet standar (pelet Altromin®) dan ad libitum air. Lima belas jam sebelum percobaan makanan dan air ditarik. Tiga hewan ditempatkan dalam satu kandang metabolisme. Untuk prosedur penyaringan dua kelompok tiga hewan digunakan untuk satu dosis senyawa uji. Senyawa uji diterapkan secara oral dengan dosis 50 mg / kg dalam air 5,0 ml / kg berat badan. Dua kelompok dari 3 hewan menerima 1 g / kg urea per oral. Selain itu, 5 ml larutan NaCl 0,9% per 100 g berat badan diberikan oleh gavage. Ekskresi urin dicatat setelah 5 dan setelah 24 jam. Kandungan natrium urin ditentukan oleh fotometri nyala. Senyawa aktif diuji lagi dengan dosis yang lebih rendah. (Vogel, 2008)
Namun pada praktikum ini digunakan tikus serague dawley dengan berat 50, 59, 70, dan 89 gram yang kemudian setelah diinjeksikan obat ditempatkan di dalam kandang metabolik yang sesuai dengan metode lipschitz yaitu kandang metabolik yang dilengkapi dengan dasar kawat dan corong untuk menahan tinja dan untuk memungkinkan urin lewat. Sedangkan untuk senyawa uji yang diberikan adalah furosemid dengan 3 variasi dosis yaitu 20 mg, 40 mg, dan 80 mg serta kontrol negatif yang hanya diberikan air hangat tanpa obat.
Sebelum dilakukan percobaan diuretik, tikus percobaan dipuasakan baik makan dan minumnya terlebih dahulu. Aulia (2015) menyatakan bahwa tujuan dipuasakan agar kondisi hewan uji sama dan mengurangi pengaruh makanan yang dikonsumsi terhadap absorpsi sampel yang diberikan.
Sebelum diinjeksikan, semua tikus diberikan air hangat sebanyak 5 ml melalui oral. Pemberian air hangat dimaksudkan sebagai induktor untuk memperjelas efek diuretik yang terjadi. Pemberian air hangat juga akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi arteriol aferen. Apabila darah yang masuk ke glomerulus melalui arteriol aferen yang melebar meningkat maka tekanan darah kapiler glomerulus bertambah sehingga laju filtrasi glomerulus (LFG) meningkat (Sherwood, 2007).
Pada tikus 1 (kontrol negatif) setelah diberikan air hangat secara oral langsung dimasukkan ke dalam kandang metabolit untuk diamati. Sedangkan pada tikus 2, 3, dan 4 diinjeksikan furosemid melalui intraperitoneal. Furosemid diinjeksikan secara intraperitoneal karena pada area intraperitoneal mengandung banyak pembuluh darah sehingga obat langsung masuk ke dalam pembuluh darah. Sehingga efek dari furosemid akan lebih cepat muncul pada tikus percobaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noviani (2017), bahwa pemberian parenteral (intraperitoneal, subkutan, intramuskular) digunakan untuk pengobatan pasien yang tidak sadar dan dalam keadaan yang memerlukan kerja obat yang cepat.
Setelah diinjeksikan, tikus 2, 3, dan 4 dimasukkan ke dalam kandang metabolit sama seperti tikus 1 (kontrol negatif). Kandang metabolisme bertujuan untuk dapat memisahkan antara urin yang akan diukur dengan kotoran tikus sehingga kotoran tikus tidak mengganggu pengukuran volume urin tikus tersebut (Aulia, 2015).
 Berdasarkan hasil pengamatan, tikus 1 (kontrol negatif) mengeluarkan urin sebanyak 1,2 ml setelah menit ke-60. Sedangkan pada menit ke-15, 30, dan 45 tidak ada urin yang dikeluarkan oleh tikus 1. Tikus 2 belum mengeluarkan urin pada menit ke-15, mengeluarkan 2 ml urin setelah menit ke-30, mengeluarkan 3 ml urin setelah menit ke-45, dan tidak mengeluarkan urin lagi atau volume urin tetap 3 ml setelah menit ke-60. Tikus 3 belum mengeluarkan urin pada menit ke-15, mengeluarkan 1,8 ml urin setelah menit ke-30, mengeluarkan 2,3 ml urin setelah menit ke-45, dan mengeluarkan 2,9 ml urin setelah menit ke-60. Sedangkan pada tikus 4 mengeluarkan 0,1 ml urin pada menit ke-15, mengeluarkan 0,2 ml setelah menit ke-30, mengeluarkan 1 ml urin setelah menit ke-45, dan mengeluarkan 2 ml urin setelah menit ke-60. Untuk mempermudah pengamatan, hasil urin kumulatif tiap waktu pengamatan pada masing-masing tikus dapat dilihat pada grafik berikut:
Dari grafik volume urin kumulatif (ml) tiap waktu pengamatan menunjukkan nilai volume urin dari kelompok uji terhadap kontrol berbeda dan menghasilkan efek diuretik yang signifikan. Pada kontrol negatif volume urin yang dikeluarkan oleh tikus adalah 1,2 ml. Hal ini disebabkan karena kontrol negatif tidak mengandung zat aktif yang dapat meningkatkan volume urin sehingga menyebabkan eksresi urin yang dikeluarkan sedikit. Sedangkan pada tikus uji yang diberikan furosemid 20, 40, dan 80 mg mengeluarkan urin mulai dari 2-3 ml. Nurhayati (1980) dalam Aulia (2015) menyatakan bahwa volume urin tikus normal kurang dari 1 ml/jam. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat efek yang signifikan yang diberikan oleh furosemid.
Dari grafik volume urin kumulatif (ml) tiap waktu pengamatan menunjukkan nilai volume urin dari kelompok uji terhadap kontrol berbeda dan menghasilkan efek diuretik yang signifikan. Pada kontrol negatif volume urin yang dikeluarkan oleh tikus adalah 1,2 ml. Hal ini disebabkan karena kontrol negatif tidak mengandung zat aktif yang dapat meningkatkan volume urin sehingga menyebabkan eksresi urin yang dikeluarkan sedikit. Sedangkan pada tikus uji yang diberikan furosemid 20, 40, dan 80 mg mengeluarkan urin mulai dari 2-3 ml. Nurhayati (1980) dalam Aulia (2015) menyatakan bahwa volume urin tikus normal kurang dari 1 ml/jam. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat efek yang signifikan yang diberikan oleh furosemid. 

Komentar